Sabtu, 22 Oktober 2011
Semusim Masa
Semusim Masa
Pagi ini kulihat matahari tersenyum indah, dan awan menyapaku begitu hangat, “hemmmmmmhuuhhhhhh” kuhirup anugrah terindah tuhan yang telah dia berikan sampai detik ini. Sungguh luar biasa “subhanallahh, terimakasihh ya allah aku begitu beruntung”. Bergegas ku buka jendela kamarku yang mungil, ku bangunkan kedua adikku yang duduk di bangku kelas 2 SMP dan 4 SD, kembali ku
rapihkan kue jualan ku dalam keranjang. Kami sekeluarga harus bekerja keras untuk hidup, apalagi dengan keadaan ibu yang terkena gangguan jiwa sejak 3 tahun yang lalu, aku lebih harus bekerja extra menjaga ibu dan kedua adik-adikku, sementara bapak harus susah payah mencari uang untuk kami dengan bekerja di sawah milik orang lain. Tak sampai disitu, ejekan dari teman, atau gunjingan dari tetangga sudah tak kami hiraukan.
rapihkan kue jualan ku dalam keranjang. Kami sekeluarga harus bekerja keras untuk hidup, apalagi dengan keadaan ibu yang terkena gangguan jiwa sejak 3 tahun yang lalu, aku lebih harus bekerja extra menjaga ibu dan kedua adik-adikku, sementara bapak harus susah payah mencari uang untuk kami dengan bekerja di sawah milik orang lain. Tak sampai disitu, ejekan dari teman, atau gunjingan dari tetangga sudah tak kami hiraukan.
Setelah ku baringkan ibu di tempat tidur, aku berusaha untuk tidak meneteskan air mata ku, dan berusaha berbicara dari hati ke hati dengan ibu, ku basuh kedua kakinya, dan bergegas pamit pergi ke sekolah, ku cium tangannya, dan ku berikan senyuman hangat untuk ibu sambil ku kecup keningnya “Ra pamit bu, Ra sayang ibu, assalamualaikum”. Ibu tetap melihat dengan tatapan kosongnya. Ku tutup pintu kamar ibu dan berangkat ke sekolah dengan adik-adiku.
Di pertigaan jalan itu aku berpisah dengan kedua adikuku. “Naya, kita berpisah disini, jaga Nara !! kaka pergi” pesanku pada naya. Naya mengangguk. Setibanya di sekolah, aku langsung bergegas menuju ruang kelas. Sesampainya di kelas, nilam teman sebangku memberikan salam, “assalamualaikum Ra ??”, ku beri senyuman hangat, lalu kujawab salamnya “waalaikumsalam”. Proses belajar mengajarpun berjalan.
Kring..kring..kring... bel istirahat berbunyi, tak ku buang waktuku, aku langsung bergegas membawa jualanku pergi dari 1 kelas ke kelas yang lain. Setelah berkeliling aku duduk untuk beristirahat di kursi depan ruang BP, tak lama kemudian nilam datang menghampiriku, “Ra, gimana daganganmu ?” tanya nilam dengan senyuman khasnya, “alhamdulilah nilam, belum terjual satupun” jawabku sambil menarik napas dalam-dalam. “sabar ya Ra, aku salut padamu, selalu tetap tersenyum dalam keadaan apapun, hemmm... kalau aku jadi kamu belum tentu aku kuat dan mampu melewatinya, mungkin aku sudah men jajz tuhan tidak adil padaku, atau protes terhadap waktu, bahkan mungkin aku sudah melakukan hal yang nekat” jawab nilam dengan nada sedikit haru, “iya nilam, insya allah aku tetap sabar, (hemmmmhuhhhhh, aku menarik nafas) protes terhadap garis takdir di tangan ku sepertinya tidak muangkin” jawabku halus sambil tersenyum.
Sebelum jam pelajaran berakhir, wali kelas memberitahuku dan mengucapkan selamat sambil menyerahkan amplop, “Ra, kamu keterima di IPB jurusan ilmu dan teknologi kelautan, melalui BIDIKMISI, ibu ucapkan selamat” Bu Murni tersenyum tulus padaku, aku tertegun kaget dengan berita itu “terimakasih Bu” jawabku setengah polos, aku kembali duduk ke bangkuku, sembari membereskan peralatan tulisku ke dalam tas, dan bersiap untuk pulang.
Setelah se isi orang dalam kelas pulang, tinggalah aku seorang diri di dalam ruangan kelas itu, aku duduk dengan serius di bangkuku, sambil ku tengok isi amplop tersebut, berulang kali aku tengok, tak ku rasa air mataku jatuh, dan saat itu juga aku menangis sekencang-kencangnya, “aku, aku, aku...Rafina Qinayahh, akhirnya kamu meneterskan air mata juga, ya allah ampuni aku !!!! karna aku tak bisa untuk tidak menangis, aku sudah tak sanggup untuk ini ya allah, aku sayang ibu, ampuni aku ya allah” (ku coba untuk berbicayra dengan NYA, tangisku sendu) hikss hikss... (ku pukul pukulkan tanganku, tepat di dadaku ) “ya allah, ujian apalagi yang hendak engkau berikan pada hamba ?? ampuni aku ya allah, karena aku mengeluh terhadap takdirku.”aku mencoba berbicara pada diriku sendiri. Tak lama kemudian, nilam datang menghampiriku, ku coba hapus deraian air mata di pipiku, berusaha untuk tetap tersenyum pada nilam. “Ra, kenapa ?? oh iya, selamatya, aku turut bahagia mendengarnya” sapanya begitu hangat padaku, kembali aku tersenyum. “ makasih, aku takut nilam, aku takut dengan pilihan ini, begitu takutnya, sampai aku tak mampu membendung air mataku” nilam tersenyum dan berkata “mengapa kamu takut Ra ?? apa yang sebenarnya kamu takutkan ?? maaf aku belum memahami maksud dari perkataanmu yang begitu sulit ku cerna dalam memory otakku” aku mencoba menatap nilam, mencoba memberitahu gundah yang kurasakan sambil menghela napas, namun rasanya nilam tak mampu menangkap apa yang ku maksud dari raut wajahku dan sendu tangisku, aku kembali menangis, kali ini aku tak bisa membendungnya, menangis dalam pelukan sahabat terbaikku Nilam, ku coba untuk kembali menjelaskan. “aku yakin ibuku senang mendengar kabar ini, sekalipun tak dia ungkapkan kepadaku, namun gundah ini terus bergetir dalam hatiku, aku ingin merawat ibu, dan aku juga ingin membahagiakan ibu dan bapak, hemm...entahlah, mengapa aku begitu takut untuk memberi tahu bapak tentang kabar gembira ini, aku begitu pengecut untuk tahu reaksi bapak yang sangat berharap aku selalu bisa menjaga ibu, menjaga kedua adikku, entah apa yang akan terjadi jika aku tak bersama mereka, dan bagaimana ibu setelah aku tidak ada, aku merasa benar-benar takut, rasa takut yang luar biasa, aku merasa semusim Massa ku telah habis untuk tetap bersama mereka.” Nilam tak banyak berkomentar mendengar curahan hatiku yang terlalu dalam, sampai tak bisa mencarikan sebuah kata solusi untukku, dia tak kuat menahan tangisnya ketika mendengar kisahku. “ Ra, sahabatku, maafkan aku karna aku tak begitu peka terhadap perasaanmu saat ini, aku terlalu egois, terlalu sibuk dengan diriku sendiri, sehingga aku tak sempat menengok sahabatku yang terbelenggu masalah” nilam kembali berujar dengan deraian air mata. Aku hanya mampu untuk melempar senyum kecilku, tanpa mampu untuk berkata lagi. “Ra, bagaimana kabar ibumu ???” tanya Nilam khawatir. “ibu baik-baik saja, sejauh ini masih belum ada perkenmbangan yang menjurus pada kata sembuh, karna kami tak cukup uang untuk memeriksakan ibu” jawabku sembari menunduk dan menghapus air mataku. Nilam kembali menyemangati ku, “sabar ya Ra, allah tidak akan memberikan ujian diluar batas kemampuan umatnya”, ku balas Nilam dengan senyuman sambil mengangguk.
Aku kembali menatap Nilam, dan ku peluk dengan erat, rasanya tak ingin ku lepaskan, kembali terurai air mataku dan airmatanya saat itu, dalam pelukan sahabatku, perlahan kami lepas pelukan itu, lalu ku keluarkan Diary ku dari dalam tas, dan ku berikan pada Nilam, “Nilam sahabatku, semoga dengan dairy ini aku selalu berada dekat denganmu dan kamu selalu berada dekat dengan ku, Nilam kembali menangis sembari menatapku dalam. Takku sadari bahwa saat itu Ra sahabatku berusaha untuk memberitahuku tentang kepergiannya yang lama, Ra sahabatku berusaha memberitahuku bahwa waktunya begitu sedikit untuk menikmati semua itu, Ra sahabatku berusaha untuk “time usually good bye” iyahhh, mungkin itu yang dimaksud Ra sahabatku, berulang kali Ra bicara tentang “waktu untuk mengucapkan selamat tinggal”. Setelah dairy itu Ra berikan padaku, Ra pergi pulang dan berlalu.
Keesokan hari nya di sekolah, tak ku lihat sahabatku yang begitu tegar datang, “mungkin sebentar lagi,” ujarku dalam hati sambil menengok pintu. Beberapa lama kemudian bel masuk berbunyi, “mungkin Ra telat, karena mengurus sesuatu”, aku coba menengok ke pintu. Trek trek trek suara putaran jam dinding kelas mengantar sepi ku yang duduk sendiri, sebari mengetuk-ngetuk pencil ke meja, tak ku hiraukan Pak Rahmat yang sedang menerangkan sejarah kala itu, kembali ku tengok pintu dan jam di tanganku, aku bicara dalam hati “mungkin Ra sakit, sehingga tak memungkinkan untuk ke sekolah”. Tak lama kemudian beberapa orang dari anggota osis mengetuk pintu ruang kelas untuk sirkulir “innalilahi wainailaihi rajingun , teteh kita tercinta, sahabat kita tercinta Rafina Qinayah dari kelas XII Ipa 5 telah dipanggil kehadiratnya,karena kecelakaan se pulang sekolah, untuk itu mari kita sejenak berdoa semoga amal ibadahnya di terima di sisinya dan untuk keluarga yang ditinggalkan semoga diberi ketabahan, berdoa dengan membaca surat al-fatihah di mulai !!!, selesai, untuk meringankan beban keluarga yang di tinggalkan kami meminta sumbangan seiklasnya dari akang dan teteh” mendengar itu aku menangis tersendu, Ra sahabatku, mengapa begitu cepat kau berlalu, bahkan kita belum sempat merangkai mimpi kita melewati semusim masa, mengapa hanya setengah episode kau tinggalkan ???? Ra hikss hikss hikss.....
Sepulang sekolah aku berusaha menemui keluarga Ra, Tangis itu terdengar dari keluarga Ra, Naya dan juga Nara adik-adik tercintanya begitu terpukul dengan kepergiaan Ra, Bapak juga terlihat bersedih, aku mencoba mencerna perkataan Naya yang berbicara dengan sendat tangisnya yang tak henti-henti ketika menceritakan kronologi kecelakaan itu, Ra tergusur bis sejauh 9 meter, saat itu Ra turun dari bis, namun tas Ra terjepit pintu bis, dan tak bisa terlepas. Kulihat tatapan ibu Ra yang duduk di kursi, begitu kosong dia tak mampu merasakan bahwa anak yang selalu merawat dan menjaganya telah tiada. Tubuh itu kaku, tubuh itu berjalan dengan keranda menuju pemakaman, Benarkah itu Ra sahabatku, aku mencoba mendekat, “Ra selamat jalan untuk peristirahatanmu yang abadi. Semusim masa bersamamu begitu indah, terimakasih untuk semuanya, Ra, aku Nilam selamanya sahabatmu kita hanya terpisah oleh jarak, waktu dan dimensi.” Ucapku dalam hati sambil ku taburkan bunga di atas tanah itu, lalu pergi, beberapa langkah dari tempat Ra, aku mencoba kenbali menengoknya dan berkata “semusim masa bersama Ra hiks hiks”.
Tamat..........
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar